Dari berbagai tulisan yang membahas tentang perkembangan teori belajar seperti (Atkinson, dkk. 1997; Gledler Margaret Bell, 1986) memaparkan tentang teori belajar yang secara umum dapat dikelompokkan dalam empat kelompok atau aliran meliputi:
1. ALIRAN BEHAVIORISTIK (Tingkah Laku)
Pandangan tentang belajar menurut aliran tingkah laku (behavioristik), tidak lain adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Atau dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Para ahli yang banyak berkarya dalam aliran ini antara lain; Thorndike, (1911); Wathson, (1963); Hull, (1943); dan Skinner, (1968). Teori belajar behavioristik
Menurut teori behavioristik, adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah laku. Sebagai contoh, anak belum dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat, dan gurunya sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia belum dapat menunjukan perubahan perilaku sebagai hasil belajar.
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau Input yang berupa stimulus dan keluaran atau Output yang berupa respon. Dalam contoh di atas, stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, misalnya daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu, untuk membantu belajar siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Menurut teori behavioristik, apa yang terjadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon. oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus) dan apa yang dihasilkan siswa (respon), semuanya harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku.
Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arahpengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kiniadalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan modelhubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagaiindividu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuatbila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantungdari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran,karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristikmemandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehanpengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan(transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pembelajar. Fungsi mindatau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga maknayang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristikstruktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memilikipemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apayang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami olehmurid.Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagaiobjek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik.Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstrukturdengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaranyang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasibelajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamatisehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam prosesevaluasi.Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakankurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi,bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karenasistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalammenghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesinatau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuaidengan potensi yang ada pada diri mereka.Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telahterstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harusdihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secaraketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar,sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
a) Thorndike
Menurut Thorndike (1911), salah seorang pendiri aliran tingkah laku, belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan respons ( yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, atau gerakan). Jelasnya, menurut Thorndike, perubahan tingkah laku boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang nonkonkret (tidak bias diamati). Teori Thorndike disebut sebagai “aliran koneksionis” (connectionism).
Menurut teori trial and error (mencoba-coba dan gagal) ini, setiap organisme jika dihadapkan dengan situasi baru akan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya coba-coba secara membabi buta. Jika dalam usaha mencoba itu kemudian secara kebetulan ada perbuatan yang dianggap memenuhi tuntutan situasi, maka perbuatan yang cocok itu kemudian “dipegangnya”. Karena latihan yang terus menerus maka waktu yang dipergunakan untuk melakukan perbuatan yang cocok itu makin lama makin efisien. Jadi, proses belajar menurut Thorndike melalui proses:
1) Trial and error (mencobva-coba dan mengalami kegagalan), dan
2) Law of effect, yang berarti bahwa segala tingkah laku yang berakibatkan suatu keadaan yang memuaskan (cocok dengan tuntutan situasi) akan diingat dan dipelajari dengan sebaik-baknya.
b) Watson
Berbeda dengan Thorndike, menurut Watson pelopor yang datang sesudah Thorndike, stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang “bisa diamati”(observable). Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa tidak penting. Semua itu penting, akan tetapi faktor-faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum.
c) Clark Hull
Teori ini, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya, ternyata tidak banyak dipakai dalam dunia praktis, meskipun sering digunakan dalam berbagai eksperimen dalam laboratorium.
Dua hal yang sangat penting dalam proses belajar dari Hull ialah adanyaIncentive motivation (motivasi insentif) dan Drive reduction (pengurangan stimulus pendorong). Kecepatan berespon berubah bila besarnya hadiah (revaro) berubah.
Penggunaan praktis teori belajar dari Hull ini untuk kegiatan dalam kelas, adalah sebagai berikut:
1) Teori belajar didasarkan pada Drive-reduction atau drive stimulus reduction.
2) Intruksional obyektif harus dirumuskan secara spesifik dan jelas.
3) Ruangan kelas harus dimulai dari yang sedemikian rupa sehingga memudahkan terjadinya proses belajar.
4) Pelajaran harus dimulai dari yang sederhana/ mudah menuju kepada yang lebih kompleks/ sulit.
5) Kecemasan harus ditimbulkan untuk mendorong kemauan belajar.
6) Latihan harus didistribusikan dengan hati-hati supaya tidak terjadi inhibisi. Dengan perkataan lain, kelelahan tidak boleh menggangu belajar.
7) Urutan mata pelajaran diatur sedemikian rupa sehingga mata pelajaran yang terdahulu tidak menghambat tetapi justru harus menjadi perangsang yang mendorong belajar pada mata pelajaran berikutnya.
d) Edwin Guthrie
Guthrie juga mengemukakan bahwa “hukuman” memegang peran penting dalam belajar. Menurutnya suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat, akan mampu mengubah kebiasaan seseorang. Sebagai contoh, seorang anak perempuan yang setiap kali pulang sekolah, selalu mencampakkan baju dan topinya di lantai. Kemudian ibunya menyuruh agar baju dan topi dipakai kembali oleh anaknya, lalu kembali keluar, dan masuk rumah kembali sambil menggantungkan topi dan bajunya di tempat gantungan. Setelah beberapa kali melakukan hal itu, respons menggantung topi dan baju menjadi terisolasi dengan stimulus memasuki rumah. Meskipun demikian, nantinya faktor hukuman ini tidak lagi dominan dalam teori-teori tingkah laku. Terutama Skinner makin mempopulerkan ide tentang “penguatan” (reinforcement).
e) Skinner
Dari semua pendukung teori tingkah laku, mungkn teori Skinner lah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Beberapa program pembelajaran seperti Teaching machine, Mathetics, atau program-program lain yang memakai konsep stimulus, respons, dan factor penguat (reinforcement), adalah contoh-contoh program yang memanfaatkan teori skinner.
Prinsip belajar Skinner adalah :
a. Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguat.
b. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul.
c. Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman.
d. Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer.
e. Dalam pembelajaran digunakan shapping.
2. ALIRAN KOGNITIF
a) Piaget
Menurut Jean Piaget (1975) salah seorang penganut aliran kognitif yang kuat, bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni 1). Asimilasi, 2).Akomodasi, dan 3). Equilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Equilibrasi adalah penyesuain berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Implikasi Teori Kognitif Piaget Dalam Pembelajaran
Menurut Piaget, perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya, yaitu bagaimana anak secara aktif mengkontruksi pengentahuannya. Pengetahuan datang dari tindakan . menurut teori Piaget pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Sementara itu bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran yang pada akhirnya memuat pemikiran itu menjadi lebih logis. Berikut ini adalah implikasi teori Piaget dalam pembelajaran:
1. Memaklumi akan adanya perbedaan invidual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Ditambah cara berfikir anak kurang logis dibanding dengan orang dewasa, maka guru harus mengerti cara berfikir anak, bukan sebaliknya anak yang beradaptasi dengan guru.
2. Pendidikan disini bertujuan untuk mengembangkan pemikiran anak, artinya ketika anak-anak mencoba memecahkan masalah, penalaran merekalah yang lebih penting daripada jawabannya. Oleh sebab itu guru penting sekali agar tidak menghukum anak-anak untuk jawaban yang salah, tetapi sebaliknya menanyakan bagaimana anak itu memberi jawaban yang salah, dan diberi pengertian tentang kebenarannya atau mengambil langkah-langkah yang tepat untuk untuk menanggulanginya.
3. Anak belajar paling baik dengan menemukan (discovery). Artinya di sini adalah agar pembelajaran yang berpusat pada anak berlangsung efektif, guru tidak meninggalkan anak-anak belajar sendiri, tetapi mereka memberi tugas khusus yang dirancang untuk membimbing para siswa menemukan dan menyelesaikan masalah sendiri.
b) Ausubel
Ausubel percaya bahwa “advance organizer” dapat memberikan tiga manfaat;
1) Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa.
2) Dapat berfungsi sebagai jembatan antara apa yang sedang dipelajari siswa saat ini dengan apa yang akan dipelajari siswa, sedemikian rupa sehingga;
3) Mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.
c) Bruner
Menurut pandangan Brunner (1964) bahwa teori belajar itu bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran itu bersifat preskriptif. Misalnya, teori penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran menguraikan bagaimana cara mengajarkan penjumlahan.
3. ALIRAN HUMANISTIK
A. Pengertian Teori Humanistik
Dalam teori belajar humanistik proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Meskipun teori ini sangat menekankan pentingya isi dari proses belajar, dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti apa yang bisa kita amati dalam dunia keseharian.. Teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk“memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi diri dan sebagainya) dapat tercapai.
Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Menurut hemat kami, Teori Belajar Humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang mengedepankan bagaimana memanusiakan manusisa serta peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya.
B. Tokoh Teori Humanistik
1. Carl Rogers
Carl R. Rogers kurang menaruh perhatian kepada mekanisme proses belajar. Belajar dipandang sebagai fungsi keseluruhan pribadi. Mereka berpendapat bahwa belajar yang sebenarnya tidak dapat berlangsung bila tidak ada keterlibatan intelektual maupun emosional peserta didik. Oleh karena itu, menurut teori belajar humanisme bahwa motifasi belajar harus bersumber pada diri peserta didik.
Roger membedakan dua ciri belajar, yaitu: (1) belajar yang bermakna dan (2) belajar yang tidak bermakna. Belajar yang bermakna terjadi jika dalam proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran dan perasaan peserta didik, dan belajar yang tidak bermakna terjadi jika dalam proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran akan tetapi tidak melibatkan aspek perasaan peserta didik.
Bagaimana proses belajar dapat terjadi menurut teori belajar humanisme?. Orang belajar karena ingin mengetahui dunianya. Individu memilih sesuatu untuk dipelajari, mengusahakan proses belajar dengan caranya sendiri, dan menilainya sendiri tentang apakah proses belajarnya berhasil.
Menurut Roger, peranan guru dalam kegiatan belajar siswa menurut pandangan teori humanisme adalah sebagai fasilitator yang berperan aktif dalam : (1) membantu menciptakan iklim kelas yang kondusif agar siswa bersikap positif terhadap belajar, (2) membantu siswa untuk memperjelas tujuan belajarnya dan memberikan kebebasan kepada siswa untuk belajar, (3) membantu siswa untuk memanfaatkan dorongan dan cita-cita mereka sebagai kekuatan pendorong belajar, (4) menyediakan berbagai sumber belajar kepada siswa, dan (5) menerima pertanyaan dan pendapat, serta perasaan dari berbagai siswa sebagaimana adanya.
2. Arthur Combs
Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya. Untuk itu guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada.
Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.
Combs memberikan lukisan persepsi diri dalam dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu.. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.
C. Prinsip-prinsip Teori Belajar Humanistik
Beberapa prinsip Teori belajar Humanistik:
1. Manusia mempunyai belajar alami
2. Belajar signifikan terjadi apabila materi plajaran dirasakan murid mempuyai relevansi dengan maksud tertentu
3. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya.
4. Tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasarkan bila ancaman itu kecil
5. Bila bancaman itu rendah terdapat pangalaman siswa dalam memperoleh cara.
6. Belajar yang bermakna diperolaeh jika siswa melakukannya
7. Belajar lancer jika siswa dilibatkan dalam proses belajar
8. Belajar yang melibatkan siswa seutuhnya dapat memberi hasil yang mendalam
9. Kepercayaan pada diri pada siswa ditumbuhkan dengan membiasakan untuk mawas diri
10. Belajar sosial adalah belajar mengenai proses belajar
Roger sebagai ahli dari teori belajar humanisme mengemukakan beberapa prinsip belajar yang penting yaitu: (1). Manusia itu memiliki keinginan alamiah untuk belajar, memiliki rasa ingin tahu alamiah terhadap dunianya, dan keinginan yang mendalam untuk mengeksplorasi dan asimilasi pengalaman baru, (2). Belajar akan cepat dan lebih bermakna bila bahan yang dipelajari relevan dengan kebutuhan siswa, (3) belajar dapat di tingkatkan dengan mengurangi ancaman dari luar, (4) belajar secara partisipasif jauh lebih efektif dari pada belajar secara pasif dan orang belajar lebih banyak bila belajar atas pengarahan diri sendiri, (5) belajar atas prakarsa sendiri yang melibatkan keseluruhan pribadi, pikiran maupun perasaan akan lebih baik dan tahan lama, dan (6) kebebasan, kreatifitas, dan kepercayaan diri dalam belajar dapat ditingkatkan dengan evaluasi diri orang lain tidak begitu penting.
D. Aplikasi Teori Belajar Humanistik
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah :
1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas
2. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur dan positif.
3. Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri
4. Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri
5. Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan.
6. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterapkan. Keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.
E. Implikasi Teori Belajar Humanistik
1. Guru Sebagai Fasilitator
Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator. Berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas fasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa (petunjuk):
a) Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas
b) Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
c) Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
d) Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
e) Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
f) Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
g) Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
h) Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa
i) Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar
j) Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.
Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
1. Merespon perasaan siswa
2. Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3. Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
4. Menghargai siswa
5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6. Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan segera dari siswa)
7. Tersenyum pada siswa
4. ALIRAN SIBERNETIK
Menurut teori sibernetik, belajar adalah pengolahan informasi. Teori ini mempunyai kesamaan denganteori kognitif yang mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar. Hanya saja system informasiyang diproses yang akan dipelajari siswa leboh dipentingkan. Hal lain yang berkaitan dengan teorisibernetik adalah bahwa tidak ada satu proses belajar yang ideal untuk segala situasi, dan yang cocok untuk semua siswa. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh system informasi.Teori sibernetik sebagai teori belajar dikritik karena lebih menekankan pada system informasi yangakan dipelajari, sedangkan bagaimana proses belajar berlangsung sangat ditentukan oleh systeminformasi tersebut. Selain itu teori ini tidak membahas proses belajar secara langsung sehingga hal inimenyulitkan penerapannya. Teori ini memandang manusia sebagai pengolah informasi yang akandipelajari, pemikir, dan pencipta. Sehingga diasumsikan manusia mampu mengolah, menyimpan, danmengorganisasikan informasi.Teori belajar pemrosesan informasi mendeskripsikan tindakan belajar merupakan proses internal yangmencakup beberapa tahapan. Sembilan tahapan dalam peristiwa pembelajaran sebagai cara-caraeksternal yang berpotensi mendukung proses-proses internal dalam kegiatan belajar adalah :
1. Menarik perhatian
2. Memberitahukan tujuan pembelajaran kepada siswa
3. Merangsang ingatan pada pra syarat belajar
4. Menyajikan bahan peransang
5. Memberikan bimbingan belajar
6. Mendorong unjuk kerja
7. Memberikan balikan informative
8. Menilai unjuk kerja
9. Meningkatkan retensi dan alih belajar
Keunggulan strategi pembelajaran yang berpijak pada teori pemrosesan informasi :
a. Cara berpikir yang berorientasi pada proses leboh menonjol
b. Penyajian pengetahuan memenuhi aspek
c. Kapabilitas belajar dapat disajikan lebih lengkapd.
Adanya keterarahan seluruh kegiatan belajar kepada tujuan yang ingin dicapaie. Adanya transfer belajar pada lingkungan kehidupan yang sesungguhnyaf. Kontrol belajar memungkinkan belajar sesuai irama masing-masing individug. Balikan informativ memberikan rambu-rambu yang jelas tentang tingkat unjuk kerja yang telahdicapai dibandingkan dengan unjuk kerja yang diharapkan
Tokoh Aliran Sibernetik
a) Landa
Landa merupakan salah seorang ahli psikologi yang beraliran sibernetik. Menurut Landa, ada dua macam proses berfikir. Pertama, disebut proses berfikiralgoritmik, yaitu berpikir linier, konvergen, lurus menuju ke suatu target tertentu. Jenis kedua, adalah cara berpikir heuristic, yakni cara berpikir divergen, menuju ke beberapa target sekaligus.
b) Pask dan Scott
Ahli lain adalah pemikirannya beraliran sibernetik adalah pask dan Scott.Pendekatan serialis yang diusulkan oleh Pask dan Scott sama dengan pendekatanalgoritmik. Namun, cara berpikir menyeluruh (wholoist) tidak sama dengan heuristik. Cara berpikir menyeluruh adalah berpikir yang cenderung melompat ke depan, langsung ke gambaran lengkap sebuah sistem informasi. Ibarat melihat lukisan, bukan detail-detail yang kita amati lebih dahulu, tetapi seluruh lukisan itu sekaligus, baru sesudah itu ke bagian-bagian yang lebih kecil.
5. TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK
Pada bagian ini dikaji tentang pandangan konstruktivistik terhadap proses belajar dan aplikasinya dalam kegiatan pembelajaran. Pembahasan diarahkan pada hal-hal seperti, karakteristik manusia masa depan yang diharapkan, konstruksi pengetahuan, dan proses belajar menurut teori konstruktivistis. Kajian diakhiri dengan memaparkan perbandingan pembelajaran tradisional (behavioristik) dengan pembelajaran konstruktivistik.
1. Karakteristik Manusia Masa Depan yang Diharapkan
Upaya membangun sumber daya manusia ditentukan oleh karakteristik manusia dan masyarakat masa depan yang dikehendaki. Karakteristik manusia masa depan yang dikehendaki tersebut adalah manusia-manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian, tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri sendiri yaitu suatu proses … (to) learn to be.Mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanya (Raka Joni, 1990).
Kepekaan, bearti ketajaman baik dalam arti kemampuan berpikirnya, maupun kemudah tersentuhan hati nurani di dalam melihat dan merasakan segala sesuatu, mulai dari kepentingan orang lain sampai dengan kelestarian lingkungan yang merupakan gubahan Sang Pencipta. Kemandirian, berarti kemampuan menilai proses dan hasil berfikir sendiri di samping proses dan hasil berfikir orang lain, serta keberanian bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya benar dan perlu. Tanggung jawab, berarti kesediaan untuk menerima segala konsekuensi keputusan serta tindakan sendiri. Kolaborasi, bearti disamping mampu berbuat yang terbaik bagi dirinya sendiri, individu dengan ciri-ciri diatas juga mampu bekerja sama dengan individu lainnya dalam meningkatkan mutu kehidupan bersama.
Langkah strategis bagi perwujudan tujuan diatas adalah adanya layanan ahli kependidikan yang berhasil guna dan berdaya guna tinggi. Student active learning atau pendekatan cara belajar siswa aktif didalam pengelolaan kegiatan belajar mengajar yang mengakui sentralitas peranan siswa didalam proses belajar, adalah landasan yang kokoh bagi terbentuknya manusia-manusia masa depan yang diharapkan. Pilihan tersebut bertolak dari kajian-kajian kritikal dan empirik disamping pilihan masyarakat (Raka Joni, 1990)
Penerapan ajaran tut wuri handayani merupakan wujud nyata yang bermakna bagi manusia masa kini dalam rangka menjemput masa depan. Untuk melaksanakannya diperlukan penanganan yang memberikan perhatian terhadap aspek strategis pendekatan yang tepat memusatkan perhatian pada terbentuknya manusia masa depan yang memiliki karakteristik diatas. Kajian terhadap teori belajar konstruktivistik dalam kegiatan belajar dan pembelajaran memungkinkan menuju kepada tujuan tersebut.
2. Konstruksi Pengetahuan
Untuk memperbaiki pendidikan terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana manusia belajar dan bagaimana cara mengajarnya. Kedua kegiatan tersebut dalam rangka memahami cara manusia mengkonstruksi pengetahuannya tentang objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang dijumpai selama kehidupannya. Manusia akan mencari dan menggunakan hal-hal atau peralatan yang dapat membantu memahami pengalamannya. Demikian juga, manusia akan mengkonstruksi dan membentuk pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan seseorang merupakan konstruksi dari dirinya. Pada bagian ini akan dibahas teori belajar konstruktivistik kaitannya dengan pemahaman tentang apa pengetahuan itu, proses mengkonstruksi pengetahuan, serta hubungan antara pengetahuan, realitas, dan kebenaran.
Apa pengetahuan itu? Menurut pendekatan konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai kunstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru.
Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pentransfer itu akan diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri.
Proses mengkonstruksi pengetahuan. Manusia dapat mengetahui sesuatu dengan menggunakan inderanya. Melalui interaksinya dengan objek dan lingkungannya, misalnya dengan melihat, mendengar,menjamah, mambau, atau merasakan, seseorang dapat mengetahui sesuatu. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ditentukan melainkan sesuatu proses pembentukan. Semakin banyak seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungannya, pengetahuan dan pemahamannya akan objek dan lingkungan tersebut akan meningkat dan lebih rinci.
Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu;
1) Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman
2) Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan
3) Kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada lainnya.
Faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dalam dirinya.
3. Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melaui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Ada beberapa pandangan dari segi konstruktivistik, dan dari aspek-aspek si-belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
Proses belajar konstruktivistik. Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamanya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “…..constructing and restructuring of knowledge and skills (schemata) within the individual in a complex network of increasing conceptual consistency…..”. pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun diluar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.
Peranan Siswa (Si-Belajar). Menurut pandangan konstrktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.
Peranan Guru. Dalam belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru hanya membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belaajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi:
1) Menumbuhkan kemandiriran dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
2) Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3) Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Sarana belajar. Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berfikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara rasional.
Evaluasi belajar. Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan penerapan evaluasi belajar antara pandangan behavioristik (tradisional) yang obyektifis konstruktivistik. Pembelajaran yang diprogramkan dan didesain banyak mengacu pada obyektifis, sedangkan Piagetian dan tugas-tugas belajar discovery lebih mengarah pada konstruktivistik. Obyektifis mengakui adanya reliabilitas pengetahuan, bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi. Guru bertugas untuk menyampaikan pengetahuan tersebut. Realitas dunia dan strukturnya dapat dianalisis dan diuraikan, dan pemahaman seseorang akan dihasilkan oleh proses-proses eksternal dari struktur dunia nyata tersebut, sehingga belajar merupakan asimilasi objek-objek nyata. Tujuan para perancang dan guru-guru tradisional adalah menginterpretasikan kejadian-kejadian nyata yang akan diberikan kepada para siswanya.
Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalamannya. Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan objek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, objek, dan pandangan terhadap dunia nyata, dimana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual.
Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan dapat menginterpretasikan informasi kedalam pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi konseptual dunia eksternal. Jika hasil belajar dikonstruksi secara individual, bagaimana mengevaluasinya?
Evaluasinya belajar pandangan behavioristik tradisional lebih diarahkan pada tujuan belajar. Sedangkan pandangan konstruktivistik menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi informasi tentang tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum proses belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemberian kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas belajar siswa.
Pembelajaran dan evaluasi yang menggunakan kriteria merupakan prototipe obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi teori konstruktivistik. Hasil belajar konstruktivistik lebih cepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.
Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berfikir yang lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merril, atau “strategi kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.
4. Perbandingan Pembelajaran Tradisional (Behavioristik) dan Pembelajaran Konstruktivistik
Proses pembelajaran akan efektif jika diketahui inti belajar yang sesungguhnya.Kegiatan pembelajaran yang selama ini berlangsung, yang berpijak pada teori behavioristik, banyak didominasi oleh guru. Guru menyampaikan materi pelajaran melalui ceramah, dengan harapan siswa dapat memahaminya dan memberikan respon sesuai dengan materi yang diceramahkan. Dalam pembelajaran, guru banyak menggantungkan pada buku teks. Materi yang disampaikan sesuai dengan urutan isi buku teks. Diharapkan siswa memiliki pandangan yang sama dengan guru, atau sama dengan buku teks tersebut. Alternatif-alternatif perbedaan interpretasi diantara siswa terhadap fenomena sosial yang kompleks tidak dipertimbangkan. Siswa belajar dalam isolasi, yang mempelajari kemampuan tingkat rendah dengan cara melengkapi buku tugasnya setiap hari.
Ketika menjawab pertanyaan siswa, guru tidak mencari kemungkinan cara pandang siswa dalam menghadapi masalah, melainkan melihat apakah siswa tidak memahami sesuatu yang dianggap benar oleh guru. Pengajaran didasarkan pada gagasan atau konsep-konsep yang sudah dianggap pasti atau baku, dan siswa harus memahaminya. Pengkonstruksian pengetahuan baru oleh siswa tidak dihargai sebagai kemampuan penguasaan pengetahuan.
Berbeda dengan bentuk pembelajaran diatas, pembelajaran konstruktivistik membantu siswa menginternalisasi dan mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuk struktur kognitif baru. Pendekatan konstruktivistik lebih luas dan sukar untuk dipahami. Pandangan ini tidak melihat pada apa yang dapat diungkapkan kembali atau apa yang dapat diulang oleh siswa terhadap pelajaran yang telah diajarkan dengan cara menjawab soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi), melainkan pada apa yang dapat dihasilkan siswa, didemonstrasikan, dan ditunjukkannya.
Secara rinci perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional atau behavioristik dan pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai berikut:
No. Pembelajaran tradisional Pembelajaran konstruktivistik
1. Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada keterampilan-keterampilan dasar. Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian, dan lebih mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas.
2. Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan. Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa.
3. Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja. Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan.
4. Siswa-siswa dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru-guru pada umumnya menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswa Siswa dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya.
5. Penilaian hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran dan biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing. Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan.
6. Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group proses dalam belajar Siswa-siswa banyak belajar dan bekerja di dalam group proses.
Karakteristik pembelajaran yang harus dilakukan adalah:
1. Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah diterapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya secara lebih luas.
2. Menempatkan siswa sebaagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan di antara ide-ide atau gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide-ide tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
3. Guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah kompleks, dimana terdapat macam-macam pandangan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagai interpretasi.
4. Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang kompleks, sukar di pahami, tidak teratur, dan tidak mudah di kelola.
Kelebihan
• Kelebihan dalam proses pembelajaran konstruktivistik siswa dituntut untuk bisa berfikir aktif dalam belajar
• Kelebihan konstruktivistik dalam pembelajaran bisa adanya group
• Pembelajaran terjadi lebih kepada ide-ide dari siswa itu sendiri
Kekurangannya
• Kekurangan apabila ada siswa yang pasif pembelajaran konstruktivistik ini tidak cocok untuk siswa pasif
• Siswa belajar secara konsep dasar tidak pada ketrampilan dari siswa itu sendiri
• Dalam pembelajarannya tidak memusatkan pada kurikulum yang ada